Senin, 04 Mei 2020

BERENANG DI SUNGAI TUHAN

Kuberi nama Elo. Warnanya kuning keemasan, alih-alih berjenis nila, nyatanya dia adalah cupang jantan. Gerakannya lincah ketika kutatap ia dari balik botol bekas air yang bikin mabuk.

Awalnya, aku sering mengajak ia bicara karena aku masih sadar akan eksistensinya sebagai hewan peliharaan pertama yang dihadiahi oleh Mas Pacar. Lambat laun aku ditelan kesedihan dan kesepianku sendiri, lupa bahwa ada makhluk mungil lain yang bisa kuajak meratapi nasib perutku yang jarang makan berkali-kali, kendati ia sendiri rutin makan 5 butir pelet tiap hari. Beberapa hari setelahnya, kulihat ia sering diam. Kupikir ia mulai hapal dan bosan tiap jengkal botol tersebut, hingga memutuskan berhenti berputar-putar. Lalu, kutemukan ia sudah melayang, meregang nyawa.

Kutahan kesedihanku agar aku tetap bisa menjalani hari dengan waras. Aku harus mencari sepetak tanah untuk mengubur Elo, batinku pada diri sendiri, meskipun tidak rela aku ditinggalkannya sendirian.
Aku memutuskan pulang ke rumah selang beberapa hari setelahnya, dengan alasan ada agenda yang perlu kutuntaskan. Kukira aku sama sekali tidak menangisi kepergian Elo. Tetapi malam ini, sesak itu kembali datang dan batinku amat nelangsa. Aku terisak seperti anak kecil yang ditinggal pulang oleh temannya sedang permainan belum usai.

Halo, Elo. Nama tersebut adalah tanda persahabatan kita sekaligus pengingat diriku bahwa aku bisa memakan habis rasa takut akan ujian di Sungai Elo dalam kepalaku. Kelak, aku janji akan lebih banyak lagi memakan rasa takut dalam kepalaku, sehingga kamu bisa tenang berputar-putar di sungai milik Tuhan yang kuyakin lebih besar dari botolmu di kamar kosku. Permainanku belum selesai, dan akan kulanjutkan sendirian, atau mungkin dengan cupang yang berlainan.
Continue reading BERENANG DI SUNGAI TUHAN