Apabila ada yang bertanya tempat yang paling ingin aku
kunjungi, dalam bayanganku—bahkan tanpa aku memejamkan mata—sabana Gunung
Lawu akan begitu saja terhampar. Yaa, aku pernah mendatanginya. Tapi kurasa, sekali
dua tidak akan cukup memuaskan dahagaku atas keindahan Lawu. Kamu pernah ke
Lawu?
Aku pernah sekali ke sana, berempat memanjat
dengan nekat dan sisa-sisa kewarasan. Hari itu cuaca tidak begitu baik. Oh,
sayang, bagaimana bisa kusia-siakan perjalanan Jogja-Lawu yang sudah kami
tempuh. Haruskah kami membatalkan karena hujan turun dengan deras dan tidak kunjung
berhenti? Entah kebaikan mana yang telah kami lakukan hingga pukul 11 siang
cuaca membaik dan kami memutuskan naik setelah melihat beberapa rombongan
memilih hal yang sama.
Perjalanan santai kurang lebih 8 jam kami tempuh
untuk sampai di tempat camp, Pos 5 Bulak Peperangan. Waktu itu waktu sudah
malam. Tidak banyak yang bisa kami liat. Tapi keesokan paginya, tempat camp itu
seperti padang luas yang tanahnya ditumbuhi rumput-rumput dan di sekelilingnya
dilingkari pohon-pohon. Konon, dulunya tempat ini merupakan arena perang pasukan Kerajaan
Majapahit melawan pasukan Kerajaan Demak. Jalur menuju puncak setelah pos 5
sudah landai dibandingkan dengan jalur di bawahnya yang terjal. Setelah pos 5
pun pemandangannya semakin menarik.
Salah
satunya ada Sendang Gupak Menjangan yang ada airnya apabila memasuki musim
penghujan. Airnya benar-benar dari air hujan dan langsung bisa diminum—di
gunung, keberadaan mata air benar-benar membantu punggung kami dari overload logistik. Di atas Gupak
Menjangan, akan ada pula tempat camp dengan suasana seperti ngecamp di hutan
Pinus. Tapi jika dirasa sudah terlalu lelah untuk berjalan, Bulak Peperangan
bisa menjadi alternatif. Sebelum mengejar keindahan, dahulukan dulu safety.
Kemudian
ada banyak sekali pohon-pohon mati—aku tidak tahu apakah pohon sedang meranggas
atau memang mati. Tapi bisakah pohon meranggas di musim penghujan? Sebenarnya
bisa menjadi latar foto yang ciamik. Hanya saja, mendaki berdua saja—rombongan terakhir
pula—cukup membuat kami puas hanya melihat pemandangan sekitar (aku sadar aku
penakut >.< apalagi kondisi temanku sedang tidak begitu sehat).
Pemandangan-pemandangan
sabana di Gunung Lawu benar-benar membuatku kangen, meskipun lebih banyak orang
menyukai sabana di Gunung Merbabu. Sabana Gunung Merbabu memiliki kesan segar
dan hijau, sedangkan sabana Lawu lebih terkesan gersang. Perjalanan dari pos 1
hingga pos 5 tidak begitu kuperhatikan. Kami membagi konsentrasi pada track
jalur, manajemen tenaga, dan jarak antaranggota rombongan. Tidak asyik sekali
jika terpisah di gunung, bukan?
Lantas,
tempat mana yang ingin kamu kunjungi?
Continue reading SEDIKIT RINDU BANYAK KANGENNYA