Rabu, 23 September 2020

SEPERTI ADA GEMPA DI KEPALAKU

: seseorang yang lahir bulan April


seperti ada gempa di kepalaku

lampu-lampu neon roboh

namamu berserakan

satu dua kena timpa puing-puing penyesalan


seekor kucing duduk tegak di kursi

lewat matanya, dipantulkannya sebuah bayangan

duduk diamnya

seorang perempuan yang di matanya ada banyak kekacauan

"Tidak pernah kulewatkan hari tanpa membayangkan mengecup pipimu yang cekung, Tuan" 

Continue reading SEPERTI ADA GEMPA DI KEPALAKU

Minggu, 20 September 2020

Jumat, 18 September 2020

SEDIKIT RINDU BANYAK KANGENNYA

Apabila ada yang bertanya tempat yang paling ingin aku kunjungi, dalam bayanganku—bahkan tanpa aku memejamkan mata—sabana Gunung Lawu akan begitu saja terhampar.  Yaa, aku pernah mendatanginya. Tapi kurasa, sekali dua tidak akan cukup memuaskan dahagaku atas keindahan Lawu. Kamu pernah ke Lawu?

Aku pernah sekali ke sana, berempat memanjat dengan nekat dan sisa-sisa kewarasan. Hari itu cuaca tidak begitu baik. Oh, sayang, bagaimana bisa kusia-siakan perjalanan Jogja-Lawu yang sudah kami tempuh. Haruskah kami membatalkan karena hujan turun dengan deras dan tidak kunjung berhenti? Entah kebaikan mana yang telah kami lakukan hingga pukul 11 siang cuaca membaik dan kami memutuskan naik setelah melihat beberapa rombongan memilih hal yang sama.

Perjalanan santai kurang lebih 8 jam kami tempuh untuk sampai di tempat camp, Pos 5 Bulak Peperangan. Waktu itu waktu sudah malam. Tidak banyak yang bisa kami liat. Tapi keesokan paginya, tempat camp itu seperti padang luas yang tanahnya ditumbuhi rumput-rumput dan di sekelilingnya dilingkari pohon-pohon. Konon, dulunya tempat ini merupakan arena perang pasukan Kerajaan Majapahit melawan pasukan Kerajaan Demak. Jalur menuju puncak setelah pos 5 sudah landai dibandingkan dengan jalur di bawahnya yang terjal. Setelah pos 5 pun pemandangannya semakin menarik.

Salah satunya ada Sendang Gupak Menjangan yang ada airnya apabila memasuki musim penghujan. Airnya benar-benar dari air hujan dan langsung bisa diminum—di gunung, keberadaan mata air benar-benar membantu punggung kami dari overload logistik. Di atas Gupak Menjangan, akan ada pula tempat camp dengan suasana seperti ngecamp di hutan Pinus. Tapi jika dirasa sudah terlalu lelah untuk berjalan, Bulak Peperangan bisa menjadi alternatif. Sebelum mengejar keindahan, dahulukan dulu safety.

Kemudian ada banyak sekali pohon-pohon mati—aku tidak tahu apakah pohon sedang meranggas atau memang mati. Tapi bisakah pohon meranggas di musim penghujan? Sebenarnya bisa menjadi latar foto yang ciamik. Hanya saja, mendaki berdua saja—rombongan terakhir pula—cukup membuat kami puas hanya melihat pemandangan sekitar (aku sadar aku penakut >.< apalagi kondisi temanku sedang tidak begitu sehat).

Pemandangan-pemandangan sabana di Gunung Lawu benar-benar membuatku kangen, meskipun lebih banyak orang menyukai sabana di Gunung Merbabu. Sabana Gunung Merbabu memiliki kesan segar dan hijau, sedangkan sabana Lawu lebih terkesan gersang. Perjalanan dari pos 1 hingga pos 5 tidak begitu kuperhatikan. Kami membagi konsentrasi pada track jalur, manajemen tenaga, dan jarak antaranggota rombongan. Tidak asyik sekali jika terpisah di gunung, bukan?

Lantas, tempat mana yang ingin kamu kunjungi?


Continue reading SEDIKIT RINDU BANYAK KANGENNYA

Minggu, 13 September 2020

KeEBAHAGIAAN YANG MENGGANTUNG DALAM JANGKAUAN TANGAN

 

Peristiwa-peristiwa tidak berhenti terjadi selama nafas kehidupan masih lewat di kedua lubang hidung. Begitupun sistem nilai dan gagasan baru untuk mempermudah urusan manusia terus bermunculan seiring dengan berkembangnya teknologi—atau akibat adaptasi alam raya terhadap perubahan-perubahan ini. Mengutip dari portal berita online, CNBC Indonesia, usia harapan hidup masyarakat Indonesia adalah 71,2 tahun. Setidaknya, apabila kita adalah salah satu manusia yang ditakdirkan berumur panjang dan prediksi dari angka harapan hidup tersebut benar, kita perlu mencari cara untuk tetap hidup waras sebagai manusia selama 71,2 tahun. Salah satu cara agar hidup dapat dijalani secara waras adalah dengan merasa bahagia.

Berbicara mengenai bahagia, ingatan saya jatuh pada buku karya Dea Anugrah. Dalam satu-satunya karya bunga rampainya—sejauh ini Dea menulis satu kumpulan cerpen, satu bunga rampai, dan baru saja menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul Kertas Basah—yang berjudul Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya, Dea menyimpulkan bahwa optimistis lahir dari keputusasaan karena dunia ideal yang hanya ada di pikiran mereka tidak sesuai dengan realitas yang mewujud. Mereka tidak menerima bahwa dunia yang ditinggali adalah bangunan bobrok dan setiap orang saling sikut untuk mendapat tempat terbaik di atas puing-puing busuk ini. Berjuang menegakkan keadilan namun enggan menerima bahwa ketidakadilan di dunia ini nyata—dan sayangnya kekal.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran semacam itu merupakan akibat dari ketidakmampuan kita mengelola dan memilih hal yang bisa membuat kita bahagia. Manusia acapkali menggantungkan ukuran kebahagiaan terlampau jauh dari tangan mereka sendiri. Saat aku berada di bangku kuliah, saya sedang menjalin hubungan dengan seseorang dan kandas di tengah jalan. Tidak hanya saya, tetapi mantan pun menyesali kejadian ini. Alasan di baliknya sepele, hubungan kami berjalan tidak sesuai dengan pasangan-pasangan lain lalui.

Dalam bayangan saya, hubungan ideal adalah hubungan yang selalu komunikatif, saling mengasihi, dan saling menyokong satu sama lain. Hal yang saya lupakan adalah sejak kapan nilai-nilai yang menurut saya ideal dalam hubungan adalah nilai yang harus saya terapkan pula pada hubungan saya? Mengapa saya sulit bahagia dengan hubungan yang saya miliki? Karena saya terpaku pada hubungan ideal menurut banyak orang dan menginginkan pacar saya berlaku sesuai dengan aturan tersebut—yang mana hal itu berada di luar kendali saya. Saya gagal memilih tolok ukur kebahagiaan karena saya menggantungkan ukuran kebahagiaan berdasarkan kebahagiaan ideal yang diakui oleh banyak orang.

Lantas hal apa yang jenis kebahagiaan seperti apa yang akan membuat saya bahagia? Tentu saja ada banyak. Saya bahagia ketika saya berhasil membeli buku yang saya inginkan tanpa melihat label harga. Saya akan bahagia ketika saya bisa berlangganan netflix maupun spotify tanpa khawatir uang dalam ATM saya terkuras. Saya menikmati bisa menghabiskan waktu sore hari dengan membaca buku di Blandongan dengan telinga tersumpal headset—oh dan jangan lupakan keberadaan Bos Lutung di depan saya, entah dia ngegame atau sedang vidcall-an dengan pacarnya. Lain kali saya akan tertawa karena berhasil memaksa Bayu main gitar untuk mengiringi saya menyanyi—tentu saja dia akan mengiyakan dengan bersungut-sungut dan saya tidak akan marah jika ia menolaknya satu dua kali. Saya akan tersenyum melihat sukulen yang saya tanam tumbuh sehat. Saya akan bangga ketika menyerahkan daun singkong hasil kebun saya kepada ibu untuk dimasak. Dan tentu saja saya akan bergembira menonoton film dengan Puppy—anak kucing berumur 2 bulan peliharaan kami—tidur di atas punggung saya.

Saya bahagia mengerjakan hal-hal sederhana yang saya yakin itu tulus dari dalam hati saya sendiri.

Continue reading KeEBAHAGIAAN YANG MENGGANTUNG DALAM JANGKAUAN TANGAN

Sabtu, 12 September 2020

PERSONALITAS: ADA ATAU TIDAK?

 

Ia mendekatiku dan menaruh tangannya di atas tanganku. Tangan yang kecil, yang lembut. Aku merasa hatiku akan patah menjadi dua

 

            Aku mengawali tulisan ini dengan penggalan terjemahan dari cerpen The Strange Library karya Haruki Murakami. Terkesan tidak nyambung tetapi tentu saja karena sejauh ini kalimat tersebut adalah ungkapan cinta pada pandangan pertama paling indah—terlepas  dari apakah cinta pada pandangam pertama ada atau tidak—sekaligus paling sederhana yang pernah kutemui. Seharusnya aku menuliskan  penggalan lain yang lebih cocok untuk kucantumkan dibandingkan kalimat cinta itu. Begini bunyinya: Kenapa aku berlaku seperti ini, setuju jika saya sangat tidak setuju, membiarkan orang memaksaku untuk melakukan hal yang tak ingin kulakukan? Lebih cocok bukan? Dan lagi, potongan cerpen itu lebih mewakili pertanyaan seperti-apa-aku-ini. Mari kita membahas mengenai personalitas dalam sudut pandangku, alih-alih membahas omong kosong mengenai penggalan mana yang lebih cocok untuk tulisan ini.

            Tidak sekali dua aku mengiyakan permintaan orang lain padahal yang kuinginkan adalah menggelengkan kepala kuat-kuat atas permintaannya tersebut. Celakanya, apa yang kusebut sebagai kebaikan karena membantu teman, nyatanya berakhir bencana. Kejadian mengenaskan tersebut tidak cukup kulakukan sekali. Berkali-kali aku harus menelan rasa bersalahku atas rasa tidak enakanku untuk menolak permintaan teman yang sekiranya tidak mampu kupenuhi. Hingga akhirnya aku kapok dan bertekad untuk jujur atas kondisiku. Namun, hal pertama yang kulakukan untuk memperbaikinya adalah memaafkan diriku sendiri dan menerima bahwa hal buruk adalah keniscayan dalam kehidupan.

            Hal yang kugarisbawahi mengenai personalitas adalah tidak ada. Tidak ada personalitas. Kita akan selalu berinteraksi dan dalam berinteraksi tersebut kita akan selalu beradaptasi. Kita akan bersikap menyesuaikan dengan siapa kita berinteraksi. Bagaimana bersikap dengan teman, bersikap dengan pacar, bersikap dengan keluarga, pun bersikap dengan Tuhan. Ketika sendirian, kita nihil. Kita baru ada ketika kita berpikir.

            Toh jikapun ada yang namanya personalitas, tentunya hal tersebut tidak bersifat mutlak. Nyatanya, apabila seseorang menuai akibat buruk dari personalitas pada dirinya, ia akan mengubah—meskipun itu tidak dilakukan secara ekstrim dan radikal—sikap dan sifatnya (personalitas) tersebut.  Berlaku juga untuk personalitasnya ketika menghadapi lingkar pertemanan. Kecuali apabila ia ingin keluar dari lingkaran tersebut. Hal tersebut tergantung pada dirinya sendiri. Konon, apabila kamu tidak bersedia untuk beradaptasi dengan suatu lingkaran pertemanan, gantilah lingkaran pertemanan. Pilihannya: adaptasi atau ganti.

            Bagimana menurutmu?

Continue reading PERSONALITAS: ADA ATAU TIDAK?