Kamis, 29 Oktober 2020

ATURAN DAN HUKUM

Suatu kali akibat kemalasan dan keteledoranku, ibuku pernah bilang: jika kamu tidak bisa mengatur dirimu sendiri, kamu akan diatur oleh hal lain di luar dirimu. Atas nama kebandelan dan kekeraskepalaan tentu saja aku menolak pendapatnya mentah-mentah. Seiring berjalannya waktu, perkataan tersebut melekat dalam otakku dan tiba-tiba saja kupikirkan dengan serius. Menurutku benar juga. Ini ada kaitannya dengan kebebasan. Kebebasan mutlak itu nonsense; omong kosong; tidak ada. Ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Batas tersebut adalah aturan. Atau kita biasa menyebutnya hukum.

Rendra pernah berkata bahwa ada 3 hukum di dunia ini: hukum Tuhan, hukum alam, dan hukum diri sendiri. Jika kamu melanggar pada salah satu hukum tersebut, kamu akan merasakan sakit. Pernah merasakan putus cinta? Siapa yang memilih untuk menyudahi? Mari bayangkan saja doi yang menginginkan hubungan ini disudahi. Setelah pernyataan putus dilontarkan, kamu mempunya pilihan: Merelakan atau meminta balikan. Harapannya sih diterima, ditolak kemungkinannya akan mengalami sakit hati. Bagaimana rasa sakit tersebut bisa terjadi?

Pilihan merelakan sepenuhnya ada dalam kendalimu, tetapi bagaimana dengan opsi minta balikan? Untuk mencapai keberhasilan atau diiyakan, kamu membutuhkan otoritas doi. Doi memiliki kekuasaan untuk bilang iya dan tidak. Ada kekuatan di luar dirimu yang mengatur atau mengendalikan harapanmu. Rasa sakit itu berasal dari hal di luar dirimu yang mengaturnya. Ini tentu saja menyalahi hukum diri sendiri karena dirimu sendiri gagal mengaturnya. Untuk tidak merasa sakit, kamu seharusnya memilih merelakan karena keberhasilan tersebut berada dalam kuasamu dan orang lain tidak bisa mengaturnya.


Continue reading ATURAN DAN HUKUM

Jumat, 16 Oktober 2020

TEH DAN PENGKHIANAT: BELAJAR MENYUKAI SEJARAH YANG MENYENANGKAN

 *Review

Sebelum beberapa saat semua barang-barang Aisyah diangkut pulang, tanganku dengan cekatan mengambil buku ini (tanpa izin jika mau jujur wkwkw). Sekilas kubaca tak tampak di mana bagian menarik dari buku yang memenangkan sayembara Kusala Sastra 2019 kategori prosa ini. Lantas aku beralih dan membaca buku lain. Namun kali ini, di waktu senggang yang sungguh bingung kuhabiskan untuk apa setelah bosan scrolling beranda twitter, jariku meraih buku ini. Kupilih judul cerpen yang sesuai dengan judul buku, barangkali akan lebih menarik minatku: Teh dan Pengkhianat. Dan whoaaa, saranku: bacalah buku ketika suasana hatimu senang dan nyaman--atau setidaknya bangunlah mood membaca yang baik sebelum membuka buku.

Dalam cerpen Teh dan Pengkhianat, aku terperangah dengan gagasan yang disajikan oleh Iksaka Banu. Ia menuturkan sejarah melalui fiksi: pengkhianatan seorang pahlawan bumiputera. Pembaca dituntut untuk cerdik memisahkan antara fakta sejarah dan bagian fiksinya. Selain itu, pembaca diharap untuk meng-crosscheck kebenaran dalam sejarah  Untuk itu, tepat pula membuat pengantar buku ini, setidaknya sebagai penjelas bahwa buku ini memanglah fiksi sejarah. Pembaca diharapkan untuk bijaksana menentukan bagian fakta cerita dan fakta pada kenyataannya. Hal lain yang diinginkan penulis, pembaca akan tertarik mendalami literatur sejarah melalui pembacaan atas cerpen ini.

Keseluruhan pengalaman membaca cerpen pertama berjudul Kalabaka adalah menangis sesenggukan (dan beringus menjijikkan). Cerpen ini bercerita mengenai seorang warga Belanda yang memilih berlayar ke Hindia dengan harapan mendapatkan sejumlah uang yang cukup untuk hidup berbahagia istri dan anaknya selepas kembali ke Belanda. Ia ditugaskan sebagai seorang milisi dan ia adalah seorang yang terpelajar serta bernurani bersih. Jujur saya amat menyukai cara bertutur Iksaka Banu dalam cerpen ini. Cerpen diawali dengan potongan surat milisi ini untuk anaknya di Belanda. Teknik penulisan tersebut membuat keingintahuanan pembaca meningkat karena bertanya-tanya mengenai peristiwa yang terjadi. Pada bagian tengah diceritakan flashback peristiwa. Cerpen pun ditutup dengan potongan bagian akhir surat yang menyentuh.

Cerpen berikutnya berjudul “Variola”, yang agaknya relevan dengan peristiwa yang terjadi baru-baru ini: pandemi covid-19. Abad Pertengahan sudah lama lewat dan ilmu pengetahuan pun sudah semakin maju, tetapi tetap ada manusia-manusia yang memahami sabda Tuhan dengan tekstual dengan paham Abad Kegelapan. Dalam cerpen ini dikisahkan adanya perdebatan antara seorang dengan seorang wakil ketua panti asuhan (dahulu, panti asuhan di zaman kolonialisme Belanda erat sekali kaitannya dengan pembelajaran agama. Gambaran mudahnya mudahnya seperti pesantren Islam di masa kini. Nilai-nilai agama diajarkan dalam kehidupan sehari-hari panti). Keduanya berdebat mengenai cara penghentian wabah. Si wakil ketua panti asuhan berpendapat bahwa wabah datang sebagai peringatan bagi manusia mengenai kekuasaan-nya. Tak lupa, penulis memberikan keberpihakannya di akhir cerpen.

Cerpen selanjutnya berjudul Sebutir Peluru Saja. Terdapat relevansi antara gagasan cerpen ini dengan keadaan sekarang ini: aksi massa yang menyebabkan kerusakan fasilitas umum dan properti pribadi dalam rangka menolak pengesahan UU Omnibus Law oleh DPR. Masalah yg diunggah oleh penulis dalam tulisannya adalah betapa sering para penguasa lebih suka membungkam suara rakyat tanpa terlebih dahulu mendengarkan tuntutannya dan keresahannya.

Selain itu, ada banyak sekali gagasan menarik yang ditulis oleh penulis: keresahan kolonialis atas perbuatan kotor yang dilakukan selama hidupnya, penyakit korupsi yang ternyata sudah ada semenjak kekuasaan berada dalam tangan orang-orang tamak dan mata duitan. Lantas ada pula cerpen yang menceritakan  skandal busuk politik, kerugian masyarakat akibat iri dengki suatu oknum yang sedang dalam masa peperangan, dan juga solidaritas buruh yang berdasar atas persamanaan nasib ingin merdeka.

Dalam buku ini, latarnya amat beragam: tidak hanya Jawa seperti yg sering kita temui dalam narasi sejarah. Namun, adapula tempat yang jarang disebut dalam sejarah kolonialisme sangat erat kaitannya dengan penjajahan Belanda, salah satunya yaitu Banda Neira. Kumpulan cerpen ini pun mengambil gagasan yang bermacam-macam. Beberapa di antaranya sudah dijelaskan di bagian atas paragraf.

Gagasan yang menggelitik salah satunya adalah banyak representasi perempuan ideal yang tidak seragam. Terdapat satu cerpen yang khusus menceritakan mengenai geliat kesadaran perempuan akan posisinya di masyarakat. Namun, di lain cerpen, diceritakan pula perempuan ideal yang berada dalam pandangan masyarakat, yang berbeda karakter dengan representasi perempuan ideal dalam satu cerpen khusus.

Dalam penyusunan, kumpulan cerpen ini disusun atas latar waktunya. Latar cerpen pertama adalah  masa peperangan gerilya dan masih ada sisa-sisa bangsawan kerajaan. Cerpen terakhir berlatarkan pengumuman mengenai kemerdekaan Indonesia.

Buku ini cocok sekali dibaca oleh orang-orang yang ingin belajar sejarah dengan riang dan menyenangkan. Bisa juga menjadi alternatif bacaan untuk pembaca buku sastra dan sejarah. Namun tentunya perlu adanya kecermatan untuk membedakan bagian fiksi dan fakta sejarahnya. Iksaka Banu sukses membuat saya ingin mengulik lebih dalam karyanya lain miliknya yg saya yakin tidak kalah spektakulernya.

Continue reading TEH DAN PENGKHIANAT: BELAJAR MENYUKAI SEJARAH YANG MENYENANGKAN