Kamis, 10 Desember 2020

TIGA PEREMPUAN DITEMUKAN LIBURAN BERSAMA DAN TERLIHAT BAHAGIA-BAHAGIA SAJA

 

Berasal dari keinginan kuat untuk pergi liburan, kami nekat pergi camping di salah satu pantai di Gunung Kidul, Pantai Greweng. Kami adalah aku, Manda, Kartini, dan Eska. Namun, mendadak saja, Eska sang selebgram mendapat job berjibun yang membuatnya urung ikut camping. Dengan modal nekat dan pengetahuan yang tidak seberapa, akhirnya kami berangkat. Eits, meskipun nekat ngga boleh asal ya, kawans.

Camping adalah salah satu kegiatan di alam bebas, yang mana terdapat resiko yang tidak terduga dan tidak bisa ditangani oleh manusia seperti cuaca, bencana alam, dan lain sebagainya. Menyadari hal itu, kami tentu mempersiapkan berbagai hal untuk meminimalisasi munculnya resiko tersebut. Berikut merupakan hal yang perlu dipersiapkan.

Hal yang harus dilakukan sebelum keberangkatan.

1.        Tentukan lokasi camping (tolok ukur lokasi camping ideal sesuai selera masing-masing ya, gais).

2.        Cek perkiraan cuaca di tempat camping dan daerah sekitarnya pada tanggal yang telah ditentukan.

3.        Aturlah logistik dan konsumsi sesuai kebutuhan (untuk konsumsi bisa agak dilebihkan)

4.        Pastikan peralatan yang akan dipakai berfungsi dengan baik (merakit tenda, menyalakan kompor+gas)

5.        Aturlah dan tentukan jumlah kendaraan, pemilik kendaraan, dan partner kendaraan (bisa motor, bisa mobil)

Logistik untuk 3 orang

-            Tenda kapasitas 3 orang

-            Matras 4 buah

-            Flysheet (1)

-            Kompor (1)

-            Gas (2)

-            Nesting 1 set

-            Webbing (2)

-            Tali-talian

 

Konsumsi untuk 3 orang

-            Nasi

-            Ayam yang sudah diungkep

-            Mie instan isi 2 (2)

-            Popcorn

-            Makanan ringan

-            Kopi instan

-            Susu

 

            Setelah melewati halang rintang yang menghadang mulai dari keserempet motor, jalan yang bikin motor sedih naudzubillah setan karena dipenuhi bebatuan, kami akhirnya sampai di Pantai Greweng dengan bahagia di sore hari. Lebih bahagia lagi karena ternyata kami satu-satunya rombongan yang berlibur di Pantai Greweng kwkw. Sesaat kami merasa memiliki private beach tapi segera kami tepis. Lha wong beli makan di luar aja mikirnya lama kayak skripsian, kok punya private beach.

            Setelah puas berlari-lari menyusuri pantai, kami bekerja sama mendirikan tenda dan menyiapkan tempat yang nyaman untuk bermalam sembari berdoa agar tidak turun hujan di malam hari. Setelah tenda siap, kami kembali bermain di pantai. Wehehe, maklum lho! Lama tidak bertemu pantai.

            Malam menjelang dan kami kelaparan. Sembari masak, kami menggenjreng gitar dan bernyanyi-nyanyi tanpa beban (persetan dengan nada dan tempo, yang penting kami bahagia). Rasanya nyaman sekali tiga perempuan pergi ngecamp dan melakukan setiap kegiatan bersama-sama. Emmm, tidak ada yang merepotkan karena kami saling merepotkan sama lain dan membagi tugas sesuai kemampuan masing-masing. Kamu tertarik mencoba?

Continue reading TIGA PEREMPUAN DITEMUKAN LIBURAN BERSAMA DAN TERLIHAT BAHAGIA-BAHAGIA SAJA

Kamis, 29 Oktober 2020

ATURAN DAN HUKUM

Suatu kali akibat kemalasan dan keteledoranku, ibuku pernah bilang: jika kamu tidak bisa mengatur dirimu sendiri, kamu akan diatur oleh hal lain di luar dirimu. Atas nama kebandelan dan kekeraskepalaan tentu saja aku menolak pendapatnya mentah-mentah. Seiring berjalannya waktu, perkataan tersebut melekat dalam otakku dan tiba-tiba saja kupikirkan dengan serius. Menurutku benar juga. Ini ada kaitannya dengan kebebasan. Kebebasan mutlak itu nonsense; omong kosong; tidak ada. Ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Batas tersebut adalah aturan. Atau kita biasa menyebutnya hukum.

Rendra pernah berkata bahwa ada 3 hukum di dunia ini: hukum Tuhan, hukum alam, dan hukum diri sendiri. Jika kamu melanggar pada salah satu hukum tersebut, kamu akan merasakan sakit. Pernah merasakan putus cinta? Siapa yang memilih untuk menyudahi? Mari bayangkan saja doi yang menginginkan hubungan ini disudahi. Setelah pernyataan putus dilontarkan, kamu mempunya pilihan: Merelakan atau meminta balikan. Harapannya sih diterima, ditolak kemungkinannya akan mengalami sakit hati. Bagaimana rasa sakit tersebut bisa terjadi?

Pilihan merelakan sepenuhnya ada dalam kendalimu, tetapi bagaimana dengan opsi minta balikan? Untuk mencapai keberhasilan atau diiyakan, kamu membutuhkan otoritas doi. Doi memiliki kekuasaan untuk bilang iya dan tidak. Ada kekuatan di luar dirimu yang mengatur atau mengendalikan harapanmu. Rasa sakit itu berasal dari hal di luar dirimu yang mengaturnya. Ini tentu saja menyalahi hukum diri sendiri karena dirimu sendiri gagal mengaturnya. Untuk tidak merasa sakit, kamu seharusnya memilih merelakan karena keberhasilan tersebut berada dalam kuasamu dan orang lain tidak bisa mengaturnya.


Continue reading ATURAN DAN HUKUM

Jumat, 16 Oktober 2020

TEH DAN PENGKHIANAT: BELAJAR MENYUKAI SEJARAH YANG MENYENANGKAN

 *Review

Sebelum beberapa saat semua barang-barang Aisyah diangkut pulang, tanganku dengan cekatan mengambil buku ini (tanpa izin jika mau jujur wkwkw). Sekilas kubaca tak tampak di mana bagian menarik dari buku yang memenangkan sayembara Kusala Sastra 2019 kategori prosa ini. Lantas aku beralih dan membaca buku lain. Namun kali ini, di waktu senggang yang sungguh bingung kuhabiskan untuk apa setelah bosan scrolling beranda twitter, jariku meraih buku ini. Kupilih judul cerpen yang sesuai dengan judul buku, barangkali akan lebih menarik minatku: Teh dan Pengkhianat. Dan whoaaa, saranku: bacalah buku ketika suasana hatimu senang dan nyaman--atau setidaknya bangunlah mood membaca yang baik sebelum membuka buku.

Dalam cerpen Teh dan Pengkhianat, aku terperangah dengan gagasan yang disajikan oleh Iksaka Banu. Ia menuturkan sejarah melalui fiksi: pengkhianatan seorang pahlawan bumiputera. Pembaca dituntut untuk cerdik memisahkan antara fakta sejarah dan bagian fiksinya. Selain itu, pembaca diharap untuk meng-crosscheck kebenaran dalam sejarah  Untuk itu, tepat pula membuat pengantar buku ini, setidaknya sebagai penjelas bahwa buku ini memanglah fiksi sejarah. Pembaca diharapkan untuk bijaksana menentukan bagian fakta cerita dan fakta pada kenyataannya. Hal lain yang diinginkan penulis, pembaca akan tertarik mendalami literatur sejarah melalui pembacaan atas cerpen ini.

Keseluruhan pengalaman membaca cerpen pertama berjudul Kalabaka adalah menangis sesenggukan (dan beringus menjijikkan). Cerpen ini bercerita mengenai seorang warga Belanda yang memilih berlayar ke Hindia dengan harapan mendapatkan sejumlah uang yang cukup untuk hidup berbahagia istri dan anaknya selepas kembali ke Belanda. Ia ditugaskan sebagai seorang milisi dan ia adalah seorang yang terpelajar serta bernurani bersih. Jujur saya amat menyukai cara bertutur Iksaka Banu dalam cerpen ini. Cerpen diawali dengan potongan surat milisi ini untuk anaknya di Belanda. Teknik penulisan tersebut membuat keingintahuanan pembaca meningkat karena bertanya-tanya mengenai peristiwa yang terjadi. Pada bagian tengah diceritakan flashback peristiwa. Cerpen pun ditutup dengan potongan bagian akhir surat yang menyentuh.

Cerpen berikutnya berjudul “Variola”, yang agaknya relevan dengan peristiwa yang terjadi baru-baru ini: pandemi covid-19. Abad Pertengahan sudah lama lewat dan ilmu pengetahuan pun sudah semakin maju, tetapi tetap ada manusia-manusia yang memahami sabda Tuhan dengan tekstual dengan paham Abad Kegelapan. Dalam cerpen ini dikisahkan adanya perdebatan antara seorang dengan seorang wakil ketua panti asuhan (dahulu, panti asuhan di zaman kolonialisme Belanda erat sekali kaitannya dengan pembelajaran agama. Gambaran mudahnya mudahnya seperti pesantren Islam di masa kini. Nilai-nilai agama diajarkan dalam kehidupan sehari-hari panti). Keduanya berdebat mengenai cara penghentian wabah. Si wakil ketua panti asuhan berpendapat bahwa wabah datang sebagai peringatan bagi manusia mengenai kekuasaan-nya. Tak lupa, penulis memberikan keberpihakannya di akhir cerpen.

Cerpen selanjutnya berjudul Sebutir Peluru Saja. Terdapat relevansi antara gagasan cerpen ini dengan keadaan sekarang ini: aksi massa yang menyebabkan kerusakan fasilitas umum dan properti pribadi dalam rangka menolak pengesahan UU Omnibus Law oleh DPR. Masalah yg diunggah oleh penulis dalam tulisannya adalah betapa sering para penguasa lebih suka membungkam suara rakyat tanpa terlebih dahulu mendengarkan tuntutannya dan keresahannya.

Selain itu, ada banyak sekali gagasan menarik yang ditulis oleh penulis: keresahan kolonialis atas perbuatan kotor yang dilakukan selama hidupnya, penyakit korupsi yang ternyata sudah ada semenjak kekuasaan berada dalam tangan orang-orang tamak dan mata duitan. Lantas ada pula cerpen yang menceritakan  skandal busuk politik, kerugian masyarakat akibat iri dengki suatu oknum yang sedang dalam masa peperangan, dan juga solidaritas buruh yang berdasar atas persamanaan nasib ingin merdeka.

Dalam buku ini, latarnya amat beragam: tidak hanya Jawa seperti yg sering kita temui dalam narasi sejarah. Namun, adapula tempat yang jarang disebut dalam sejarah kolonialisme sangat erat kaitannya dengan penjajahan Belanda, salah satunya yaitu Banda Neira. Kumpulan cerpen ini pun mengambil gagasan yang bermacam-macam. Beberapa di antaranya sudah dijelaskan di bagian atas paragraf.

Gagasan yang menggelitik salah satunya adalah banyak representasi perempuan ideal yang tidak seragam. Terdapat satu cerpen yang khusus menceritakan mengenai geliat kesadaran perempuan akan posisinya di masyarakat. Namun, di lain cerpen, diceritakan pula perempuan ideal yang berada dalam pandangan masyarakat, yang berbeda karakter dengan representasi perempuan ideal dalam satu cerpen khusus.

Dalam penyusunan, kumpulan cerpen ini disusun atas latar waktunya. Latar cerpen pertama adalah  masa peperangan gerilya dan masih ada sisa-sisa bangsawan kerajaan. Cerpen terakhir berlatarkan pengumuman mengenai kemerdekaan Indonesia.

Buku ini cocok sekali dibaca oleh orang-orang yang ingin belajar sejarah dengan riang dan menyenangkan. Bisa juga menjadi alternatif bacaan untuk pembaca buku sastra dan sejarah. Namun tentunya perlu adanya kecermatan untuk membedakan bagian fiksi dan fakta sejarahnya. Iksaka Banu sukses membuat saya ingin mengulik lebih dalam karyanya lain miliknya yg saya yakin tidak kalah spektakulernya.

Continue reading TEH DAN PENGKHIANAT: BELAJAR MENYUKAI SEJARAH YANG MENYENANGKAN

Rabu, 23 September 2020

SEPERTI ADA GEMPA DI KEPALAKU

: seseorang yang lahir bulan April


seperti ada gempa di kepalaku

lampu-lampu neon roboh

namamu berserakan

satu dua kena timpa puing-puing penyesalan


seekor kucing duduk tegak di kursi

lewat matanya, dipantulkannya sebuah bayangan

duduk diamnya

seorang perempuan yang di matanya ada banyak kekacauan

"Tidak pernah kulewatkan hari tanpa membayangkan mengecup pipimu yang cekung, Tuan" 

Continue reading SEPERTI ADA GEMPA DI KEPALAKU

Minggu, 20 September 2020

Jumat, 18 September 2020

SEDIKIT RINDU BANYAK KANGENNYA

Apabila ada yang bertanya tempat yang paling ingin aku kunjungi, dalam bayanganku—bahkan tanpa aku memejamkan mata—sabana Gunung Lawu akan begitu saja terhampar.  Yaa, aku pernah mendatanginya. Tapi kurasa, sekali dua tidak akan cukup memuaskan dahagaku atas keindahan Lawu. Kamu pernah ke Lawu?

Aku pernah sekali ke sana, berempat memanjat dengan nekat dan sisa-sisa kewarasan. Hari itu cuaca tidak begitu baik. Oh, sayang, bagaimana bisa kusia-siakan perjalanan Jogja-Lawu yang sudah kami tempuh. Haruskah kami membatalkan karena hujan turun dengan deras dan tidak kunjung berhenti? Entah kebaikan mana yang telah kami lakukan hingga pukul 11 siang cuaca membaik dan kami memutuskan naik setelah melihat beberapa rombongan memilih hal yang sama.

Perjalanan santai kurang lebih 8 jam kami tempuh untuk sampai di tempat camp, Pos 5 Bulak Peperangan. Waktu itu waktu sudah malam. Tidak banyak yang bisa kami liat. Tapi keesokan paginya, tempat camp itu seperti padang luas yang tanahnya ditumbuhi rumput-rumput dan di sekelilingnya dilingkari pohon-pohon. Konon, dulunya tempat ini merupakan arena perang pasukan Kerajaan Majapahit melawan pasukan Kerajaan Demak. Jalur menuju puncak setelah pos 5 sudah landai dibandingkan dengan jalur di bawahnya yang terjal. Setelah pos 5 pun pemandangannya semakin menarik.

Salah satunya ada Sendang Gupak Menjangan yang ada airnya apabila memasuki musim penghujan. Airnya benar-benar dari air hujan dan langsung bisa diminum—di gunung, keberadaan mata air benar-benar membantu punggung kami dari overload logistik. Di atas Gupak Menjangan, akan ada pula tempat camp dengan suasana seperti ngecamp di hutan Pinus. Tapi jika dirasa sudah terlalu lelah untuk berjalan, Bulak Peperangan bisa menjadi alternatif. Sebelum mengejar keindahan, dahulukan dulu safety.

Kemudian ada banyak sekali pohon-pohon mati—aku tidak tahu apakah pohon sedang meranggas atau memang mati. Tapi bisakah pohon meranggas di musim penghujan? Sebenarnya bisa menjadi latar foto yang ciamik. Hanya saja, mendaki berdua saja—rombongan terakhir pula—cukup membuat kami puas hanya melihat pemandangan sekitar (aku sadar aku penakut >.< apalagi kondisi temanku sedang tidak begitu sehat).

Pemandangan-pemandangan sabana di Gunung Lawu benar-benar membuatku kangen, meskipun lebih banyak orang menyukai sabana di Gunung Merbabu. Sabana Gunung Merbabu memiliki kesan segar dan hijau, sedangkan sabana Lawu lebih terkesan gersang. Perjalanan dari pos 1 hingga pos 5 tidak begitu kuperhatikan. Kami membagi konsentrasi pada track jalur, manajemen tenaga, dan jarak antaranggota rombongan. Tidak asyik sekali jika terpisah di gunung, bukan?

Lantas, tempat mana yang ingin kamu kunjungi?


Continue reading SEDIKIT RINDU BANYAK KANGENNYA

Minggu, 13 September 2020

KeEBAHAGIAAN YANG MENGGANTUNG DALAM JANGKAUAN TANGAN

 

Peristiwa-peristiwa tidak berhenti terjadi selama nafas kehidupan masih lewat di kedua lubang hidung. Begitupun sistem nilai dan gagasan baru untuk mempermudah urusan manusia terus bermunculan seiring dengan berkembangnya teknologi—atau akibat adaptasi alam raya terhadap perubahan-perubahan ini. Mengutip dari portal berita online, CNBC Indonesia, usia harapan hidup masyarakat Indonesia adalah 71,2 tahun. Setidaknya, apabila kita adalah salah satu manusia yang ditakdirkan berumur panjang dan prediksi dari angka harapan hidup tersebut benar, kita perlu mencari cara untuk tetap hidup waras sebagai manusia selama 71,2 tahun. Salah satu cara agar hidup dapat dijalani secara waras adalah dengan merasa bahagia.

Berbicara mengenai bahagia, ingatan saya jatuh pada buku karya Dea Anugrah. Dalam satu-satunya karya bunga rampainya—sejauh ini Dea menulis satu kumpulan cerpen, satu bunga rampai, dan baru saja menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul Kertas Basah—yang berjudul Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya, Dea menyimpulkan bahwa optimistis lahir dari keputusasaan karena dunia ideal yang hanya ada di pikiran mereka tidak sesuai dengan realitas yang mewujud. Mereka tidak menerima bahwa dunia yang ditinggali adalah bangunan bobrok dan setiap orang saling sikut untuk mendapat tempat terbaik di atas puing-puing busuk ini. Berjuang menegakkan keadilan namun enggan menerima bahwa ketidakadilan di dunia ini nyata—dan sayangnya kekal.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran semacam itu merupakan akibat dari ketidakmampuan kita mengelola dan memilih hal yang bisa membuat kita bahagia. Manusia acapkali menggantungkan ukuran kebahagiaan terlampau jauh dari tangan mereka sendiri. Saat aku berada di bangku kuliah, saya sedang menjalin hubungan dengan seseorang dan kandas di tengah jalan. Tidak hanya saya, tetapi mantan pun menyesali kejadian ini. Alasan di baliknya sepele, hubungan kami berjalan tidak sesuai dengan pasangan-pasangan lain lalui.

Dalam bayangan saya, hubungan ideal adalah hubungan yang selalu komunikatif, saling mengasihi, dan saling menyokong satu sama lain. Hal yang saya lupakan adalah sejak kapan nilai-nilai yang menurut saya ideal dalam hubungan adalah nilai yang harus saya terapkan pula pada hubungan saya? Mengapa saya sulit bahagia dengan hubungan yang saya miliki? Karena saya terpaku pada hubungan ideal menurut banyak orang dan menginginkan pacar saya berlaku sesuai dengan aturan tersebut—yang mana hal itu berada di luar kendali saya. Saya gagal memilih tolok ukur kebahagiaan karena saya menggantungkan ukuran kebahagiaan berdasarkan kebahagiaan ideal yang diakui oleh banyak orang.

Lantas hal apa yang jenis kebahagiaan seperti apa yang akan membuat saya bahagia? Tentu saja ada banyak. Saya bahagia ketika saya berhasil membeli buku yang saya inginkan tanpa melihat label harga. Saya akan bahagia ketika saya bisa berlangganan netflix maupun spotify tanpa khawatir uang dalam ATM saya terkuras. Saya menikmati bisa menghabiskan waktu sore hari dengan membaca buku di Blandongan dengan telinga tersumpal headset—oh dan jangan lupakan keberadaan Bos Lutung di depan saya, entah dia ngegame atau sedang vidcall-an dengan pacarnya. Lain kali saya akan tertawa karena berhasil memaksa Bayu main gitar untuk mengiringi saya menyanyi—tentu saja dia akan mengiyakan dengan bersungut-sungut dan saya tidak akan marah jika ia menolaknya satu dua kali. Saya akan tersenyum melihat sukulen yang saya tanam tumbuh sehat. Saya akan bangga ketika menyerahkan daun singkong hasil kebun saya kepada ibu untuk dimasak. Dan tentu saja saya akan bergembira menonoton film dengan Puppy—anak kucing berumur 2 bulan peliharaan kami—tidur di atas punggung saya.

Saya bahagia mengerjakan hal-hal sederhana yang saya yakin itu tulus dari dalam hati saya sendiri.

Continue reading KeEBAHAGIAAN YANG MENGGANTUNG DALAM JANGKAUAN TANGAN

Sabtu, 12 September 2020

PERSONALITAS: ADA ATAU TIDAK?

 

Ia mendekatiku dan menaruh tangannya di atas tanganku. Tangan yang kecil, yang lembut. Aku merasa hatiku akan patah menjadi dua

 

            Aku mengawali tulisan ini dengan penggalan terjemahan dari cerpen The Strange Library karya Haruki Murakami. Terkesan tidak nyambung tetapi tentu saja karena sejauh ini kalimat tersebut adalah ungkapan cinta pada pandangan pertama paling indah—terlepas  dari apakah cinta pada pandangam pertama ada atau tidak—sekaligus paling sederhana yang pernah kutemui. Seharusnya aku menuliskan  penggalan lain yang lebih cocok untuk kucantumkan dibandingkan kalimat cinta itu. Begini bunyinya: Kenapa aku berlaku seperti ini, setuju jika saya sangat tidak setuju, membiarkan orang memaksaku untuk melakukan hal yang tak ingin kulakukan? Lebih cocok bukan? Dan lagi, potongan cerpen itu lebih mewakili pertanyaan seperti-apa-aku-ini. Mari kita membahas mengenai personalitas dalam sudut pandangku, alih-alih membahas omong kosong mengenai penggalan mana yang lebih cocok untuk tulisan ini.

            Tidak sekali dua aku mengiyakan permintaan orang lain padahal yang kuinginkan adalah menggelengkan kepala kuat-kuat atas permintaannya tersebut. Celakanya, apa yang kusebut sebagai kebaikan karena membantu teman, nyatanya berakhir bencana. Kejadian mengenaskan tersebut tidak cukup kulakukan sekali. Berkali-kali aku harus menelan rasa bersalahku atas rasa tidak enakanku untuk menolak permintaan teman yang sekiranya tidak mampu kupenuhi. Hingga akhirnya aku kapok dan bertekad untuk jujur atas kondisiku. Namun, hal pertama yang kulakukan untuk memperbaikinya adalah memaafkan diriku sendiri dan menerima bahwa hal buruk adalah keniscayan dalam kehidupan.

            Hal yang kugarisbawahi mengenai personalitas adalah tidak ada. Tidak ada personalitas. Kita akan selalu berinteraksi dan dalam berinteraksi tersebut kita akan selalu beradaptasi. Kita akan bersikap menyesuaikan dengan siapa kita berinteraksi. Bagaimana bersikap dengan teman, bersikap dengan pacar, bersikap dengan keluarga, pun bersikap dengan Tuhan. Ketika sendirian, kita nihil. Kita baru ada ketika kita berpikir.

            Toh jikapun ada yang namanya personalitas, tentunya hal tersebut tidak bersifat mutlak. Nyatanya, apabila seseorang menuai akibat buruk dari personalitas pada dirinya, ia akan mengubah—meskipun itu tidak dilakukan secara ekstrim dan radikal—sikap dan sifatnya (personalitas) tersebut.  Berlaku juga untuk personalitasnya ketika menghadapi lingkar pertemanan. Kecuali apabila ia ingin keluar dari lingkaran tersebut. Hal tersebut tergantung pada dirinya sendiri. Konon, apabila kamu tidak bersedia untuk beradaptasi dengan suatu lingkaran pertemanan, gantilah lingkaran pertemanan. Pilihannya: adaptasi atau ganti.

            Bagimana menurutmu?

Continue reading PERSONALITAS: ADA ATAU TIDAK?

Sabtu, 15 Agustus 2020

KOTA YANG KETEGARANNYA TAK MATI-MATI

    Perjalanan ke Siung pada September lalu merupakan perjalanan yang menyenangkan. Pertama, perjalanan tersebut merupakan perjalanan pertama saya bersama kawan-kawan baru saya. Kedua, perjalanan tersebut merupakan perjalanan pertama saya dengan tujuan memanjat tebing (di awal perjalanan bahkan saya tidak yakin berhasil memanjat). Di sepanjang jalan menuju Siung, kota Wonosari dengan pegunungan kapur yang menarik perhatian berlebih berhasil membuat saya gelisah tanpa kompromi.

   Oleh sebab beberapa hal, saya dan teman saya, Timit, memutuskan menyusul rombongan yang sudah berangkat lebih dulu pada hari Jumat pukul 19.00. Paginya, hari Sabtu, pukul 08.00 saya dan Timit berangkat dari kota Yogyakarta menuju Siung dengan menahan kantuk. Perjalanan yang direncanakan berangkat pukul 07.00 pagi tersebut mengalami penundaan satu jam karena kantuk yang menjadi-jadi.

Jalan-jalan menuju Siung dihiasi oleh pemandangan yang sangat unik jika tidak ingin dikatakan sebagai pemandangan yang aneh. Beberapa kali berkendara menuju Gunungkidul, baru kali ini saya menyadari bahwa Wonosari macam salah satu Perempuan-Perempuan yang Ditinggal Lelakinya. Frasa tersebut merupakan judul cerpen karya Cucum Cantini yang dibukukan oleh platform literasi digital bernama kibul.in. Cerpen tersebut mengisi buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017 bersama 27 cerpen lainnya dan beberapa puisi. Judul tersebut berkorelasi dengan tokoh dalam cerita tersebut.

Cucum Cantini menggunakan sudut pandang pertama dalam mengisahkan cerpen tersebut. Penulis bertindak sebagai aku yang menceritakan pandangannya mengenai dua kota yang terkesan mati karena ditinggal oleh penduduknya mengungsi ke kota. Ditinggalnya kampung halaman yang kurang menjanjikan bagi janji masa depan gemilang. Terdapat dua kota berbeda provinsi sebagai objek dalam cerpen tersebut: Wonosari dan Padalarang. Kota yang kesepian itu memiliki respon sendiri menghadapi kepiluannya. Berbeda dengan Padalarang yang ramai akan pabrik-pabrik dan kepul asap, Wonosari yang merupakan kota tandus dan kurang memiliki sumber daya yang dimanfaatkan memilih menerima keadaan. Para penduduknya mencoba mengambil apa yang disediakan oleh alam.  Dua kota yang terkesan mati bertahan hidup dengan caranya sendiri.

Di kanan kiri jalan sepanjang Wonosari akan ditemukan lahan-lahan tandus di musim kering. Dan September adalah kemarau malang dengan debu-debunya yang beterbangan. Akan terlihat pula ibu paruh baya yang menggendong kayu-kayu bakar tanpa kepayahan. Hal inilah yang membuat Wonosari sebagai kota yang menerima kepiluannya. Menikmati tangisannya dengan tangan dan kaki yang terus bekerja. Beserta tatapan polos dan senyum tanpa curiga ketika setiap jengkal kotanya didatangi oleh asing.

Di kanan kiri jalan utama, akan terlihat batu-batu cadas yang menyembul dari tanah. Pohon-pohon kering kerontang, terutama pohon jati yang meranggas di musim kemarau. Masyarakat Wonosari memilih beternak, jika tidak memutuskan ke kota. Cara tersebut dianggap sebagai satu-satunya pilihan yang aman dengan pertimbangan kondisi ekologisnya. Beternak pun terbatas pada unggas dan hewan ternak, kecuali kerbau tentu saja. Pada sore hari, akan terlihat ibu-ibu memanggul sekarung rumput dan sabit yang diselipkan di antara simpul pada karungnya. Pilihan tersebut dijalaninya demi membantu suami yang pergi merantau ke kota besar. Demi sesuap nasi untuk si bujang dan susu bagi anak bungsu terkasihnya.

Keindahan Wonosari terbentuk dari adanya apa-apa yang muncul dari tanah. Tanah, darinya hal-hal baik akan tumbuh. Pohon-pohon, air-air, cinta-cinta, kasih-kasih, dan mimpi-mimpi. Tanah yang gersang dan mengandung batu yang kasar pun tetap disayanginya. Tanah sebagai penghubung laut dan langit dengan bermediakan air. Hujan yang turun acapkali begitu dirindukan tanpa memusuhi kemarau yang datang.

Bumi adalah ibu bagi segala makhluk. Tempat kita berpulang setelah dirasa waktu sudah cukup usang untuk diteruskan. Selama Tuhan belum meminta seorang manusia pulang, kehidupan tersebut akan terus berlangsung. Segarang apapun batu-batu di tanah Wonosari, segarang itu pula niat penduduknya mencari makan untuk menyambung hidup. Dengan mata memerah karena kantuk, saya mencoba tetap memandangi kehidupan Wonosari. Sesekali menengok untuk menatap barang satu dua detik untuk kemudian kembali fokus pada jalan.

Perjalanan naik turun dan berkelok-kelok selaksa sesiut angin tanpa tahu kapan berakhir berhenti di sebuah plang dengan nomina bertuliskan “Pantai Siung”. Desah yang saya keluarkan tanpa sadar cukup menjelaskan bahwa perjalanan menuju Siung merupakan perjalanan melelahkan yang berhasil saya nikmati atas pilu kota Wonosari. Pun ketika saya bertemu dengan pantai, angin yang kering tetap menyambut mata merah-menahan-kantuk kami, saya dan Timit.

Setelah kebingungan dan mencoba mencari tanda-tanda kawan-kawan yang lain, kami melihat sebuah rumah yang sama dengan yang ditunjukan oleh kawan kami. Selepas itu kami parkir dan langsung menuju lokasi pemanjatan. Di jalan, saya dan Timit melihat Mbak Hanung. “Akhirnya”, desahku kembali. Dan dimulailah petualangan sehariku dalam percobaan memanjat tebing yang asli.

Continue reading KOTA YANG KETEGARANNYA TAK MATI-MATI

Senin, 04 Mei 2020

BERENANG DI SUNGAI TUHAN

Kuberi nama Elo. Warnanya kuning keemasan, alih-alih berjenis nila, nyatanya dia adalah cupang jantan. Gerakannya lincah ketika kutatap ia dari balik botol bekas air yang bikin mabuk.

Awalnya, aku sering mengajak ia bicara karena aku masih sadar akan eksistensinya sebagai hewan peliharaan pertama yang dihadiahi oleh Mas Pacar. Lambat laun aku ditelan kesedihan dan kesepianku sendiri, lupa bahwa ada makhluk mungil lain yang bisa kuajak meratapi nasib perutku yang jarang makan berkali-kali, kendati ia sendiri rutin makan 5 butir pelet tiap hari. Beberapa hari setelahnya, kulihat ia sering diam. Kupikir ia mulai hapal dan bosan tiap jengkal botol tersebut, hingga memutuskan berhenti berputar-putar. Lalu, kutemukan ia sudah melayang, meregang nyawa.

Kutahan kesedihanku agar aku tetap bisa menjalani hari dengan waras. Aku harus mencari sepetak tanah untuk mengubur Elo, batinku pada diri sendiri, meskipun tidak rela aku ditinggalkannya sendirian.
Aku memutuskan pulang ke rumah selang beberapa hari setelahnya, dengan alasan ada agenda yang perlu kutuntaskan. Kukira aku sama sekali tidak menangisi kepergian Elo. Tetapi malam ini, sesak itu kembali datang dan batinku amat nelangsa. Aku terisak seperti anak kecil yang ditinggal pulang oleh temannya sedang permainan belum usai.

Halo, Elo. Nama tersebut adalah tanda persahabatan kita sekaligus pengingat diriku bahwa aku bisa memakan habis rasa takut akan ujian di Sungai Elo dalam kepalaku. Kelak, aku janji akan lebih banyak lagi memakan rasa takut dalam kepalaku, sehingga kamu bisa tenang berputar-putar di sungai milik Tuhan yang kuyakin lebih besar dari botolmu di kamar kosku. Permainanku belum selesai, dan akan kulanjutkan sendirian, atau mungkin dengan cupang yang berlainan.
Continue reading BERENANG DI SUNGAI TUHAN