Perjalanan ke Siung pada September lalu merupakan perjalanan yang menyenangkan. Pertama, perjalanan tersebut merupakan perjalanan pertama saya bersama kawan-kawan baru saya. Kedua, perjalanan tersebut merupakan perjalanan pertama saya dengan tujuan memanjat tebing (di awal perjalanan bahkan saya tidak yakin berhasil memanjat). Di sepanjang jalan menuju Siung, kota Wonosari dengan pegunungan kapur yang menarik perhatian berlebih berhasil membuat saya gelisah tanpa kompromi.
Oleh sebab beberapa hal, saya dan teman saya, Timit, memutuskan menyusul rombongan yang sudah berangkat lebih dulu pada hari Jumat pukul 19.00. Paginya, hari Sabtu, pukul 08.00 saya dan Timit berangkat dari kota Yogyakarta menuju Siung dengan menahan kantuk. Perjalanan yang direncanakan berangkat pukul 07.00 pagi tersebut mengalami penundaan satu jam karena kantuk yang menjadi-jadi.Jalan-jalan menuju Siung dihiasi oleh
pemandangan yang sangat unik jika tidak ingin dikatakan sebagai pemandangan
yang aneh. Beberapa kali berkendara menuju Gunungkidul, baru kali ini saya
menyadari bahwa Wonosari macam salah satu Perempuan-Perempuan
yang Ditinggal Lelakinya. Frasa tersebut merupakan judul cerpen karya
Cucum Cantini yang dibukukan oleh platform literasi digital bernama kibul.in. Cerpen
tersebut mengisi buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017 bersama 27 cerpen lainnya dan
beberapa puisi. Judul tersebut
berkorelasi dengan tokoh dalam cerita tersebut.
Cucum Cantini menggunakan sudut pandang
pertama dalam mengisahkan cerpen tersebut. Penulis bertindak sebagai aku yang menceritakan pandangannya
mengenai dua kota yang terkesan mati
karena ditinggal oleh penduduknya mengungsi ke kota. Ditinggalnya kampung halaman yang kurang menjanjikan bagi janji masa depan
gemilang. Terdapat dua kota berbeda
provinsi sebagai objek dalam cerpen tersebut:
Wonosari dan Padalarang. Kota yang kesepian itu memiliki respon sendiri
menghadapi kepiluannya. Berbeda dengan Padalarang yang ramai akan pabrik-pabrik
dan kepul asap, Wonosari yang merupakan kota tandus dan kurang memiliki sumber daya yang dimanfaatkan memilih menerima
keadaan. Para penduduknya mencoba mengambil apa yang disediakan oleh alam. Dua kota yang
terkesan mati bertahan hidup dengan
caranya sendiri.
Di kanan kiri jalan
sepanjang Wonosari akan ditemukan lahan-lahan tandus di musim kering. Dan
September adalah kemarau malang dengan debu-debunya yang beterbangan. Akan
terlihat pula ibu paruh baya yang menggendong kayu-kayu bakar tanpa kepayahan.
Hal inilah yang membuat Wonosari sebagai kota yang menerima kepiluannya.
Menikmati tangisannya dengan tangan dan kaki yang terus bekerja. Beserta
tatapan polos dan senyum tanpa curiga ketika setiap jengkal kotanya didatangi
oleh asing.
Di kanan kiri jalan
utama, akan terlihat batu-batu cadas yang menyembul dari tanah. Pohon-pohon
kering kerontang, terutama pohon jati yang meranggas di musim kemarau.
Masyarakat Wonosari memilih beternak, jika tidak memutuskan ke kota. Cara
tersebut dianggap sebagai satu-satunya pilihan yang aman dengan pertimbangan
kondisi ekologisnya. Beternak pun terbatas pada unggas dan hewan ternak,
kecuali kerbau tentu saja. Pada sore hari, akan terlihat ibu-ibu memanggul
sekarung rumput dan sabit yang diselipkan di antara simpul pada karungnya.
Pilihan tersebut dijalaninya demi membantu suami yang pergi merantau ke kota
besar. Demi sesuap nasi untuk si bujang dan susu bagi anak bungsu terkasihnya.
Keindahan Wonosari
terbentuk dari adanya apa-apa yang muncul dari tanah. Tanah, darinya hal-hal
baik akan tumbuh. Pohon-pohon, air-air, cinta-cinta, kasih-kasih, dan
mimpi-mimpi. Tanah yang gersang dan mengandung batu yang kasar pun tetap
disayanginya. Tanah sebagai penghubung laut dan langit dengan bermediakan air.
Hujan yang turun acapkali begitu dirindukan tanpa memusuhi kemarau yang datang.
Bumi adalah ibu bagi
segala makhluk. Tempat kita berpulang setelah dirasa waktu sudah cukup usang
untuk diteruskan. Selama Tuhan belum meminta seorang manusia pulang, kehidupan
tersebut akan terus berlangsung. Segarang apapun batu-batu di tanah Wonosari,
segarang itu pula niat penduduknya mencari makan untuk menyambung hidup. Dengan
mata memerah karena kantuk, saya mencoba tetap memandangi kehidupan Wonosari.
Sesekali menengok untuk menatap barang satu dua detik untuk kemudian kembali
fokus pada jalan.
Perjalanan naik turun dan berkelok-kelok
selaksa sesiut angin tanpa tahu kapan berakhir berhenti di sebuah plang dengan
nomina bertuliskan “Pantai Siung”. Desah yang saya keluarkan tanpa sadar cukup
menjelaskan bahwa perjalanan menuju Siung merupakan perjalanan melelahkan yang
berhasil saya nikmati atas pilu kota Wonosari. Pun ketika saya bertemu dengan
pantai, angin yang kering tetap menyambut mata merah-menahan-kantuk kami, saya
dan Timit.
Setelah kebingungan dan mencoba mencari
tanda-tanda kawan-kawan yang lain, kami melihat sebuah rumah yang sama dengan
yang ditunjukan oleh kawan kami. Selepas itu kami parkir dan langsung menuju
lokasi pemanjatan. Di jalan, saya dan Timit melihat Mbak Hanung. “Akhirnya”,
desahku kembali. Dan dimulailah petualangan sehariku dalam percobaan memanjat
tebing yang asli.