Sabtu, 15 Agustus 2020

KOTA YANG KETEGARANNYA TAK MATI-MATI

    Perjalanan ke Siung pada September lalu merupakan perjalanan yang menyenangkan. Pertama, perjalanan tersebut merupakan perjalanan pertama saya bersama kawan-kawan baru saya. Kedua, perjalanan tersebut merupakan perjalanan pertama saya dengan tujuan memanjat tebing (di awal perjalanan bahkan saya tidak yakin berhasil memanjat). Di sepanjang jalan menuju Siung, kota Wonosari dengan pegunungan kapur yang menarik perhatian berlebih berhasil membuat saya gelisah tanpa kompromi.

   Oleh sebab beberapa hal, saya dan teman saya, Timit, memutuskan menyusul rombongan yang sudah berangkat lebih dulu pada hari Jumat pukul 19.00. Paginya, hari Sabtu, pukul 08.00 saya dan Timit berangkat dari kota Yogyakarta menuju Siung dengan menahan kantuk. Perjalanan yang direncanakan berangkat pukul 07.00 pagi tersebut mengalami penundaan satu jam karena kantuk yang menjadi-jadi.

Jalan-jalan menuju Siung dihiasi oleh pemandangan yang sangat unik jika tidak ingin dikatakan sebagai pemandangan yang aneh. Beberapa kali berkendara menuju Gunungkidul, baru kali ini saya menyadari bahwa Wonosari macam salah satu Perempuan-Perempuan yang Ditinggal Lelakinya. Frasa tersebut merupakan judul cerpen karya Cucum Cantini yang dibukukan oleh platform literasi digital bernama kibul.in. Cerpen tersebut mengisi buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017 bersama 27 cerpen lainnya dan beberapa puisi. Judul tersebut berkorelasi dengan tokoh dalam cerita tersebut.

Cucum Cantini menggunakan sudut pandang pertama dalam mengisahkan cerpen tersebut. Penulis bertindak sebagai aku yang menceritakan pandangannya mengenai dua kota yang terkesan mati karena ditinggal oleh penduduknya mengungsi ke kota. Ditinggalnya kampung halaman yang kurang menjanjikan bagi janji masa depan gemilang. Terdapat dua kota berbeda provinsi sebagai objek dalam cerpen tersebut: Wonosari dan Padalarang. Kota yang kesepian itu memiliki respon sendiri menghadapi kepiluannya. Berbeda dengan Padalarang yang ramai akan pabrik-pabrik dan kepul asap, Wonosari yang merupakan kota tandus dan kurang memiliki sumber daya yang dimanfaatkan memilih menerima keadaan. Para penduduknya mencoba mengambil apa yang disediakan oleh alam.  Dua kota yang terkesan mati bertahan hidup dengan caranya sendiri.

Di kanan kiri jalan sepanjang Wonosari akan ditemukan lahan-lahan tandus di musim kering. Dan September adalah kemarau malang dengan debu-debunya yang beterbangan. Akan terlihat pula ibu paruh baya yang menggendong kayu-kayu bakar tanpa kepayahan. Hal inilah yang membuat Wonosari sebagai kota yang menerima kepiluannya. Menikmati tangisannya dengan tangan dan kaki yang terus bekerja. Beserta tatapan polos dan senyum tanpa curiga ketika setiap jengkal kotanya didatangi oleh asing.

Di kanan kiri jalan utama, akan terlihat batu-batu cadas yang menyembul dari tanah. Pohon-pohon kering kerontang, terutama pohon jati yang meranggas di musim kemarau. Masyarakat Wonosari memilih beternak, jika tidak memutuskan ke kota. Cara tersebut dianggap sebagai satu-satunya pilihan yang aman dengan pertimbangan kondisi ekologisnya. Beternak pun terbatas pada unggas dan hewan ternak, kecuali kerbau tentu saja. Pada sore hari, akan terlihat ibu-ibu memanggul sekarung rumput dan sabit yang diselipkan di antara simpul pada karungnya. Pilihan tersebut dijalaninya demi membantu suami yang pergi merantau ke kota besar. Demi sesuap nasi untuk si bujang dan susu bagi anak bungsu terkasihnya.

Keindahan Wonosari terbentuk dari adanya apa-apa yang muncul dari tanah. Tanah, darinya hal-hal baik akan tumbuh. Pohon-pohon, air-air, cinta-cinta, kasih-kasih, dan mimpi-mimpi. Tanah yang gersang dan mengandung batu yang kasar pun tetap disayanginya. Tanah sebagai penghubung laut dan langit dengan bermediakan air. Hujan yang turun acapkali begitu dirindukan tanpa memusuhi kemarau yang datang.

Bumi adalah ibu bagi segala makhluk. Tempat kita berpulang setelah dirasa waktu sudah cukup usang untuk diteruskan. Selama Tuhan belum meminta seorang manusia pulang, kehidupan tersebut akan terus berlangsung. Segarang apapun batu-batu di tanah Wonosari, segarang itu pula niat penduduknya mencari makan untuk menyambung hidup. Dengan mata memerah karena kantuk, saya mencoba tetap memandangi kehidupan Wonosari. Sesekali menengok untuk menatap barang satu dua detik untuk kemudian kembali fokus pada jalan.

Perjalanan naik turun dan berkelok-kelok selaksa sesiut angin tanpa tahu kapan berakhir berhenti di sebuah plang dengan nomina bertuliskan “Pantai Siung”. Desah yang saya keluarkan tanpa sadar cukup menjelaskan bahwa perjalanan menuju Siung merupakan perjalanan melelahkan yang berhasil saya nikmati atas pilu kota Wonosari. Pun ketika saya bertemu dengan pantai, angin yang kering tetap menyambut mata merah-menahan-kantuk kami, saya dan Timit.

Setelah kebingungan dan mencoba mencari tanda-tanda kawan-kawan yang lain, kami melihat sebuah rumah yang sama dengan yang ditunjukan oleh kawan kami. Selepas itu kami parkir dan langsung menuju lokasi pemanjatan. Di jalan, saya dan Timit melihat Mbak Hanung. “Akhirnya”, desahku kembali. Dan dimulailah petualangan sehariku dalam percobaan memanjat tebing yang asli.

Continue reading KOTA YANG KETEGARANNYA TAK MATI-MATI