*Review
Sebelum
beberapa saat semua barang-barang Aisyah diangkut pulang, tanganku dengan
cekatan mengambil buku ini (tanpa izin jika mau jujur wkwkw). Sekilas kubaca
tak tampak di mana bagian menarik dari buku yang memenangkan sayembara Kusala Sastra
2019 kategori prosa ini. Lantas aku beralih dan membaca buku lain. Namun kali ini,
di waktu senggang yang sungguh bingung kuhabiskan untuk apa setelah bosan scrolling
beranda twitter, jariku
meraih buku ini. Kupilih judul cerpen yang sesuai dengan judul buku, barangkali
akan lebih menarik minatku: Teh dan Pengkhianat. Dan whoaaa, saranku: bacalah
buku ketika suasana hatimu senang dan nyaman--atau setidaknya bangunlah mood
membaca yang baik sebelum membuka buku.
Dalam
cerpen “Teh dan Pengkhianat”, aku terperangah dengan gagasan yang disajikan oleh
Iksaka Banu. Ia menuturkan sejarah melalui fiksi: pengkhianatan seorang
pahlawan bumiputera. Pembaca dituntut untuk cerdik memisahkan antara fakta
sejarah dan bagian fiksinya. Selain itu, pembaca diharap untuk meng-crosscheck kebenaran dalam sejarah Untuk itu, tepat pula membuat pengantar buku
ini, setidaknya sebagai penjelas bahwa buku ini memanglah fiksi sejarah.
Pembaca diharapkan untuk bijaksana menentukan bagian fakta cerita dan fakta
pada kenyataannya. Hal lain yang diinginkan penulis, pembaca akan tertarik
mendalami literatur sejarah melalui pembacaan atas cerpen ini.
Keseluruhan
pengalaman membaca cerpen pertama berjudul “Kalabaka” adalah menangis sesenggukan (dan beringus
menjijikkan). Cerpen ini bercerita mengenai seorang warga Belanda yang memilih
berlayar ke Hindia dengan harapan mendapatkan sejumlah uang yang cukup untuk
hidup berbahagia istri dan anaknya selepas kembali ke Belanda. Ia ditugaskan
sebagai seorang milisi
dan ia adalah seorang
yang terpelajar serta bernurani bersih. Jujur saya amat menyukai cara bertutur
Iksaka Banu dalam cerpen ini. Cerpen diawali dengan potongan surat milisi ini untuk
anaknya di Belanda. Teknik penulisan tersebut
membuat keingintahuanan pembaca meningkat karena bertanya-tanya mengenai
peristiwa yang terjadi. Pada bagian tengah diceritakan flashback
peristiwa. Cerpen pun
ditutup dengan potongan bagian akhir surat yang menyentuh.
Cerpen
berikutnya berjudul “Variola”, yang
agaknya relevan dengan peristiwa yang
terjadi baru-baru ini: pandemi covid-19. Abad Pertengahan
sudah lama lewat dan ilmu pengetahuan pun sudah semakin maju, tetapi tetap ada
manusia-manusia yang memahami sabda Tuhan dengan tekstual dengan paham Abad
Kegelapan. Dalam cerpen ini dikisahkan adanya perdebatan antara seorang dengan
seorang wakil ketua panti asuhan (dahulu, panti asuhan di zaman kolonialisme Belanda
erat sekali kaitannya dengan pembelajaran agama. Gambaran mudahnya mudahnya
seperti pesantren Islam di masa kini. Nilai-nilai agama diajarkan dalam kehidupan
sehari-hari panti). Keduanya berdebat mengenai cara penghentian wabah. Si wakil
ketua panti asuhan berpendapat bahwa wabah datang sebagai peringatan bagi
manusia mengenai kekuasaan-nya. Tak lupa, penulis memberikan keberpihakannya di
akhir cerpen.
Cerpen
selanjutnya berjudul “Sebutir Peluru Saja”. Terdapat relevansi antara gagasan
cerpen ini dengan keadaan sekarang ini: aksi massa yang menyebabkan kerusakan
fasilitas umum dan properti pribadi dalam rangka menolak pengesahan UU Omnibus
Law oleh DPR. Masalah yg diunggah oleh penulis dalam tulisannya adalah betapa
sering para penguasa lebih suka membungkam suara rakyat tanpa terlebih dahulu
mendengarkan tuntutannya dan keresahannya.
Selain itu, ada banyak sekali gagasan menarik yang
ditulis oleh penulis: keresahan kolonialis atas perbuatan kotor yang dilakukan
selama hidupnya, penyakit korupsi yang ternyata sudah ada semenjak kekuasaan
berada dalam tangan orang-orang tamak dan mata duitan. Lantas ada pula cerpen
yang menceritakan skandal busuk politik,
kerugian masyarakat akibat iri dengki suatu oknum yang sedang dalam masa
peperangan, dan juga solidaritas buruh yang berdasar atas persamanaan nasib
ingin merdeka.
Dalam
buku ini, latarnya amat beragam: tidak hanya Jawa seperti yg sering kita temui
dalam narasi sejarah. Namun, adapula tempat yang jarang disebut dalam
sejarah kolonialisme sangat erat
kaitannya dengan penjajahan Belanda, salah satunya yaitu Banda Neira. Kumpulan cerpen ini pun mengambil gagasan yang bermacam-macam. Beberapa di antaranya sudah dijelaskan di bagian atas
paragraf.
Gagasan yang menggelitik salah satunya adalah banyak representasi perempuan ideal yang tidak seragam. Terdapat satu cerpen yang khusus menceritakan mengenai
geliat kesadaran perempuan akan posisinya di masyarakat. Namun, di lain cerpen,
diceritakan pula perempuan ideal yang berada dalam pandangan masyarakat, yang
berbeda karakter dengan representasi perempuan ideal dalam satu cerpen khusus.
Dalam penyusunan, kumpulan cerpen ini disusun atas
latar waktunya. Latar cerpen pertama adalah
masa peperangan gerilya dan masih ada sisa-sisa bangsawan kerajaan.
Cerpen terakhir berlatarkan pengumuman mengenai kemerdekaan Indonesia.
Buku
ini cocok sekali dibaca oleh orang-orang yang ingin belajar sejarah dengan riang dan menyenangkan.
Bisa juga menjadi alternatif bacaan untuk pembaca buku sastra dan sejarah. Namun tentunya perlu
adanya kecermatan untuk membedakan bagian fiksi dan fakta sejarahnya. Iksaka
Banu sukses membuat saya ingin mengulik lebih dalam karyanya lain miliknya yg
saya yakin tidak kalah spektakulernya.
0 komentar:
Posting Komentar